Merdeka atau Mereka?

Merdeka atau Mereka?

SULSELSATU.com, MAKASASAR – Tahun ini, Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-80, perayaan seharusnya menjadi momen untuk merenungkan capaian dan kemajuan bangsa. Namun, di tengah semangat kebangsaan yang membara, ada hal yang tak bisa diabaikan: kenyataan pahit bahwa ketidakadilan ekonomi semakin terasa di tengah masyarakat. Kebijakan yang seharusnya meringankan beban rakyat justru semakin memperburuk keadaan. Kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) di sejumlah wilayah, diikuti dengan kenaikan gaji anggota DPR, menambah ketegangan sosial yang sudah membara, yang kini tersalurkan melalui media sosial dan demonstrasi di jalanan. Pada momen 80 tahun kemerdekaan ini, pertanyaan mendalam muncul, apakah kita benar-benar merdeka, ataukah kemerdekaan ini hanya dirasakan oleh segelintir orang?

Kemerdekaan Indonesia yang dicapai 80 tahun lalu seharusnya bukan hanya dalam hal politik dan simbolik, tetapi juga dalam hal ekonomi. Seharusnya, kemerdekaan itu membawa kesejahteraan yang merata, di mana rakyat dapat menikmati hasil dari kemajuan bangsa. Namun, kenyataan yang ada justru jauh dari harapan tersebut. Ketika masyarakat semakin tertekan dengan berbagai kebijakan ekonomi, seperti kenaikan PBB yang membebani rumah tangga menengah ke bawah, kemerdekaan ekonomi yang dijanjikan seolah hanya menjadi angan-angan. Apakah ini yang kita perjuangkan selama 80 tahun ini? Apakah kebijakan yang diambil pemerintah saat ini benar-benar mencerminkan semangat kemerdekaan yang sejati?

Pajak bumi dan bangunan (PBB) yang terus naik di beberapa daerah menjadi sorotan utama. Di saat harga barang kebutuhan pokok terus melambung, inflasi meningkat, dan pendapatan masyarakat tidak sebanding dengan biaya hidup, kebijakan ini justru menambah beban rakyat. Kenaikan PBB semakin menyulitkan masyarakat yang sudah kesulitan mengatur anggaran keluarga. Tidak hanya itu, kenaikan biaya hidup akibat inflasi yang terus menanjak juga semakin membuat rakyat terjepit. Sementara itu, para pejabat publik yang seharusnya memberikan contoh, justru mendapatkan kenaikan gaji yang signifikan, sebuah kebijakan yang memperburuk ketimpangan sosial yang ada. Tindakan ini semakin memperjelas kesenjangan antara mereka yang berkuasa dan rakyat biasa, yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah.

Sementara rakyat terus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, kenaikan gaji anggota DPR menjadi sebuah ironi yang semakin menambah rasa ketidakadilan. Kenaikan gaji ini seolah-olah memberikan sinyal bahwa kesejahteraan pejabat negara lebih diprioritaskan daripada kebutuhan rakyat. Dalam situasi krisis ekonomi, di mana banyak sektor usaha mengalami penurunan, dan pengangguran meningkat, kebijakan ini justru terkesan tidak sensitif terhadap keadaan rakyat yang semakin menderita. Bagaimana mungkin rakyat bisa merasa dihargai ketika wakil mereka sendiri menikmati kenaikan yang sangat signifikan, sementara rakyat terus berjuang dengan pendapatan yang stagnan?

Media sosial telah menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah semakin gencar diungkapkan melalui platform digital, dengan hashtag-hashtag yang menyuarakan protes terhadap kenaikan pajak dan gaji pejabat negara. Lebih dari itu, demonstrasi di jalanan semakin marak, sebagai bentuk langsung dari ketidakpuasan yang meledak di ruang publik. Rakyat, yang merasa tidak dihargai dan terpinggirkan, menggunakan segala cara untuk menuntut keadilan. Mereka ingin pemerintah tidak hanya mendengarkan suara mereka, tetapi juga bertindak untuk memperbaiki keadaan yang tidak adil ini.

Kemerdekaan ekonomi sejati adalah ketika setiap rakyat Indonesia merasakan manfaat dari kemajuan ekonomi yang ada. Namun, dengan ketimpangan yang semakin jelas, pertanyaan besar muncul, apakah kemerdekaan ekonomi yang kita impikan sudah tercapai? Apakah kebijakan-kebijakan yang ada benar-benar mengarah pada kesejahteraan rakyat banyak, ataukah hanya memberikan keuntungan bagi segelintir elit yang berkuasa? Jika pemerintah ingin merayakan kemerdekaan yang sesungguhnya, maka sudah saatnya untuk mengevaluasi kebijakan ekonomi dengan jujur dan mempertimbangkan kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan politik.

Di usia kemerdekaan yang ke-80 ini, sudah saatnya kita merefleksikan makna sejati dari kemerdekaan. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah kemerdekaan yang membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya bagi segelintir orang. Pemerintah perlu lebih sensitif terhadap kesulitan yang dihadapi rakyat dan mengambil langkah-langkah yang lebih bijaksana dalam menyusun kebijakan ekonomi. Hanya dengan begitu, kita dapat merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, di mana keadilan sosial dan ekonomi benar-benar dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.

Penting untuk diingat bahwa keadilan sosial bukan hanya sekadar retorika, tetapi harus terwujud dalam setiap kebijakan yang diterapkan. Sebagai bangsa yang besar, kita harus mampu memastikan bahwa setiap kebijakan ekonomi yang dikeluarkan dapat meminimalkan ketimpangan yang ada. Penerapan kebijakan yang inklusif dan berpihak pada rakyat banyak, seperti pengurangan beban pajak bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, subsidi untuk sektor-sektor yang terdampak inflasi, serta pengaturan yang lebih ketat terhadap pengeluaran publik, adalah langkah-langkah yang perlu diambil. Jika pemerintah mampu menyusun kebijakan yang tidak hanya menguntungkan sebagian pihak, tetapi juga mengutamakan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, maka kita bisa mengharapkan terwujudnya kemerdekaan ekonomi yang sesungguhnya. Kebijakan yang adil akan menjadi landasan untuk menciptakan kestabilan sosial dan politik di negara ini.

Sebagai bangsa yang telah merdeka selama 80 tahun, kita harus mampu belajar dari masa lalu untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Masyarakat yang cerdas, kritis, dan berdaya perlu terus didorong untuk terlibat aktif dalam proses politik dan ekonomi negara. Pemerintah harus memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka. Ini adalah bentuk pengakuan terhadap hak-hak mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Pada akhirnya, kemerdekaan ekonomi tidak hanya diukur dari seberapa besar perekonomian tumbuh, tetapi juga seberapa merata pertumbuhannya dirasakan oleh seluruh rakyat. Sebuah kemerdekaan yang hakiki adalah ketika semua pihak, dari yang paling kaya hingga yang paling miskin, dapat menikmati hasil kemajuan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.

Pada usia kemerdekaan yang ke-80 ini, kita harus mengingat bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya soal kebebasan politik, tetapi juga kebebasan ekonomi yang merata. Jika kita ingin merayakan kemerdekaan yang sesungguhnya, maka saatnya untuk mendengarkan suara rakyat, mengevaluasi kebijakan ekonomi yang ada, dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterapkan dapat membawa manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita tidak bisa terus merayakan kemerdekaan sementara ketimpangan sosial dan ekonomi semakin tajam. Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan yang dirasakan oleh semua, bukan hanya oleh mereka yang berkuasa.

Penulis: Lukman Dahlan, Dosen Akuntansi FEB Universitas Negeri Makassar

Cek berita dan artikel yang lain di Google News

Baca Juga