Logo Sulselsatu

OPINI: Jatah Preman Pelicin Keberlanjutan Bisnis ?

Andi
Andi

Senin, 09 Juni 2025 15:32

Gambar: Lukman Dahlan (Dosen Akuntansi Universitas Negeri Makassar)
Gambar: Lukman Dahlan (Dosen Akuntansi Universitas Negeri Makassar)

Bayar dulu biar aman.” Kalimat pendek ini masih bergema di pasar, perusahaan, hingga kantor-kantor pelayanan publik kita. Dulu, kita mengenal jatah preman sebagai pungli jalanan. Pelakunya berpenampilan garang dan seram. Sekarang, kita melihatnya memakai baju yang lebih necis layaknya pejabat dan aparat negara. Mereka telah menjelma dengan tujuan untuk memungut uang di luar mekanisme hukum, demi keamanan, kelancaran, atau biaya koordinasi.

Para pelaku bisnis menjadi salah satu sasaran utama pungutan liar para oknum dengan dalih menjamin keberlanjutan bisnis mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketergantungan bisnis pada masyarakat atau konsumennya menjadi hal mutlak yang tidak dapat dipisahkan. Keberlanjutan bisnis tergantung pada legitimasi stakeholder-nya.

Sebagai dosen akuntansi, saya mengajarkan tentang tata kelola, integritas, dan pelaporan keuangan yang bersih. Namun di balik laporan keuangan, saya melihat dan mendengar keluh kesah dari pelaku usaha, bahkan banyak yang viral di media sosial. Mereka mengaku harus “setor” agar tidak diganggu, atau agar izinnya cepat keluar. Praktik semacam ini tak sekadar merusak etika bisnis, tetapi juga mengebiri keberanian wirausaha untuk tumbuh dalam sistem yang adil. Banyak di antara mereka akhirnya memilih jalan kompromi. Bukan karena tak tahu salah, tapi karena takut kehilangan mata pencaharian.

Fenomena kita hari ini bukan tanpa preseden. Di Sisilia, Italia, kelompok mafia Cosa Nostra selama puluhan tahun menagih “pizzo” (setoran perlindungan) dari hampir setiap toko, kafe, atau kontraktor. Jika menolak, teror, sabotase, bahkan pembunuhan bisa terjadi. Yang lebih mengkhawatirkan, mafia ini menjalin simbiosis dengan pejabat, polisi, hingga anggota parlemen. Praktik ini berlangsung selama bertahun-tahun hingga akhirnya ditumbangkan lewat gerakan kolektif warga dan keberanian sistem peradilan.

Di Jepang, kisah serupa juga terjadi melalui jaringan kriminal bernama Yakuza. Organisasi ini dikenal rapi, memiliki struktur, bahkan terdaftar secara legal hingga 1990-an. Mereka tak hanya beroperasi di jalanan, tetapi juga menyusup ke dalam dunia bisnis konstruksi, properti, bahkan pasar saham. Yang lebih mencengangkan, Yakuza memiliki relasi dengan beberapa politisi dan pejabat yang menggunakan mereka untuk mengatur tender proyek hingga mengamankan wilayah bisnis tertentu.

Dalam dua contoh tersebut, jatah preman bukan lagi soal tukang palak di pinggir jalan, melainkan bentuk kapitalisme kriminal yang bersimbiosis dengan sistem kekuasaan. Dan di Indonesia, kita mulai melihat jejak-jejak serupa: ketika pungutan liar, setoran ormas, parkir liar, atau biaya informal dalam tender dianggap sebagai hal yang wajar.

Jatah preman, dalam bentuk apa pun, dapat merusak keberlanjutan bisnis pada akhirnya. Hal ini menciptakan biaya tak kasatmata yang sulit diprediksi dan tak bisa dicatat resmi. Akibatnya, laporan keuangan menjadi fiktif, pajak jadi rancu, dan kepercayaan publik luntur.

UMKM jadi korban paling rentan. Mereka yang seharusnya tumbuh sebagai tulang punggung ekonomi nasional, justru ditekan oleh biaya-biaya “tak tertulis”. Banyak usaha yang tutup bukan karena kalah bersaing, tetapi karena kalah dalam hal akses dan hubungan.

Dalam jangka panjang, iklim usaha jadi kotor. Investor enggan masuk karena merasa risiko non-ekonomi di Indonesia tak terukur. Kredibilitas usaha kita jatuh, bukan karena lemah, tapi karena dipaksa bermain dalam sistem yang tak sehat.

Jatah preman hari ini bisa saja berbaju kekuasaan. Tapi seperti dalam kasus Jepang, ketika masyarakat mulai menggugat secara terbuka, bahkan Yakuza yang dulu ditakuti kini mulai kehilangan pengaruh dan ruang. Kita pun bisa demikian, jika berani memulai dari hal kecil dengan tidak memberi, tidak diam, dan tidak merasa itu normal.

Menghapus jatah preman tidak cukup dengan razia atau penjara. Butuh perubahan budaya dan keberanian kolektif. Seperti di Sisilia, kita butuh gerakan bersama, di mana pelaku usaha yang saling mendukung, masyarakat yang tidak membiarkan, dan aparat yang benar-benar berdiri di pihak hukum.

Di sisi lain, kampus bisa menjadi ruang edukasi. Media bisa menjadi suara. Komunitas bisa menjadi pelindung. Pemerintah harus berani mempercepat digitalisasi layanan dan menindak tegas aparat yang menyalahgunakan wewenang. Tapi yang paling utama, pelaku usaha, baik dari pedagang kecil hingga pemilik perusahaan perlu merasa tak sendiri saat berkata “tidak”.

Saya yakin masih banyak yang jujur dan ingin bersih. Mereka hanya butuh sistem yang memberi perlindungan, bukan justru ikut menekan. Kalau Yakuza bisa ditekan di Jepang, kalau mafia bisa dilawan di Italia, maka jatah preman di Indonesia juga bisa kita hentikan, asal kita mulai dari hal kecil seperti tidak membayar, tidak diam, dan tidak merasa itu normal.

Karena keberlanjutan bisnis bukan soal angka profitabilitas. Tapi soal moralitas dan keberanian memilih yang benar, meski risikonya besar. Dan barangkali, disanalah letak makna berbisnis yang sesungguhnya.

 

Cek berita dan artikel yang lain di Google News

Yuk berbagi informasi tentang Sulawesi Selatan dengan join di group whatsapp : Citizen Journalism Sulsel

 Youtube Sulselsatu

 Komentar

 Terbaru

Berita Utama23 Juni 2025 22:27
VIDEO: Momen Bahagia Anies Baswedan Jemput Cucu Pertama Tanpa Sopir
SULSELSATU.com – Momen Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjemput cucu pertamanya, Senin (23/6/2025). Anies Baswedan membagikan kebahagiaan i...
Sulsel23 Juni 2025 21:00
Gol Perdana Wali Kota Warnai Pembukaan Turnamen Mini Soccer Bhayangkara di Parepare
SULSELSATU.com, PAREPARE – Turnamen sepak bola Mini Soccer dalam rangka memperingati Hari Bhayangkara ke-79 di Kota Parepare resmi dibuka dengan...
Video23 Juni 2025 20:34
VIDEO: Viral! Emak-Emak di Gorontalo Lempar Uang ke Lantai Usai Ribut dengan Driver Maxim
SULSELSATU.com – Aksi seorang wanita yang melemparkan uang pembayaran ke lantai saat menggunakan jasa ojek online. Video tersebut viral di media sos...
News23 Juni 2025 20:20
Asmo Sulsel Dukung Polres Gowa Gelar Teguran Simpatik, Berikan 10 Helm Gratis untuk Pengendara
Astra Motor (Asmo) Sulsel kembali mempertegas komitmennya dalam mengkampanyekan keselamatan berkendara dengan mendukung kegiatan teguran simpatik yang...