SULSELSATU.com, MAKASAR – Beberapa hari terakhir ini, keluhan soal kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) meledak di media sosial dan ruang-ruang obrolan warga. Tidak hanya di kota besar, masyarakat di desa pun ikut bersuara. Bahkan hampir semua media nasional dan lokal menjadikannya sebagai topik siaran utama.
Pernahkah kita membayangkan, suatu pagi menerima surat tagihan PBB yang nilainya melonjak berkali-kali lipat dari tahun sebelumnya dan tanpa penjelasan yang memadai?. Itulah kenyataan yang kini dirasakan banyak warga di berbagai daerah. PBB yang semula hanya ratusan ribu, kini melonjak menjadi jutaan rupiah. Apakah ini pertanda negara sedang mencari pemasukan dengan memeras kantong rakyat?
Ilustrasi penerimaan pajak. Foto: Istimewa.
Kenaikan Drastis
PBB sejatinya merupakan instrumen penting untuk membiayai pembangunan daerah. Namun, ketika penyesuaian tarif dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dilakukan tanpa kajian sosial yang matang, hasilnya bisa memukul keras daya tahan masyarakat.
Di banyak daerah, NJOP melonjak tajam karena mengikuti harga pasar yang meroket, terutama di wilayah yang sedang mengalami pembangunan infrastruktur atau komersialisasi. Bagi pemerintah, ini dianggap wajar karena tanah tersebut “secara teori” punya nilai lebih tinggi. Tetapi bagi warga, khususnya yang tinggal di tanah warisan turun-temurun, ini adalah pukulan berat.
Mereka tidak membeli tanah itu dengan harga baru. Mereka juga tidak berencana menjualnya. Mereka hanya tinggal di sana, menjalani hidup seperti biasa. Tetapi pajak yang mereka bayar kini dihitung seolah mereka baru saja melakukan transaksi properti bernilai miliaran.
Prinsip Keadilan
Argumen pemerintah daerah biasanya sama, yakni pendapatan asli daerah harus ditingkatkan. PBB menjadi salah satu sumber yang bisa dioptimalkan. Tetapi di sinilah letak masalahnya, optimalisasi sering kali diartikan sebagai menaikkan tarif atau NJOP tanpa memikirkan daya beli rakyat.
Pajak adalah kontribusi wajib yang seharusnya mencerminkan asas keadilan. Prinsip ini diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 dan diulang dalam UU Perpajakan. Keadilan berarti mereka yang mampu membayar lebih, membayar lebih besar. Sedangkan mereka yang ekonominya lemah tidak dibebani secara berlebihan.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan prinsip itu mulai kabur. Pemilik tanah di kawasan yang tiba-tiba dianggap premium ikut terkena imbas. Rumah sederhana yang kebetulan dekat jalan baru atau pusat perbelanjaan langsung mengalami lonjakan NJOP, padahal pemiliknya sama sekali tidak menikmati keuntungan ekonomis dari perkembangan itu.
Dampak Sosial yang Terlupakan
Lonjakan PBB tidak hanya berdampak pada pengeluaran rumah tangga, tetapi juga memicu gejala sosial yang lebih serius. Ada warga yang terpaksa menjual tanahnya karena tidak sanggup membayar pajak tahunan. Dalam jangka panjang, ini dapat memicu pergeseran kepemilikan tanah dari masyarakat lokal ke investor besar—sebuah proses yang secara halus mempercepat gentrifikasi.
Dampak psikologisnya pun nyata. Banyak warga, terutama lansia, merasa tertekan dan tidak tenang setiap memasuki masa pembayaran pajak. Pajak yang seharusnya menjadi wujud gotong royong justru menjadi sumber kecemasan.
Kebijakan yang Lebih Manusiawi
Sudah saatnya pemerintah daerah dan pusat meninjau ulang kebijakan PBB agar lebih berpihak pada keadilan sosial. Solusinya tidak sesulit yang dibayangkan, asal kemauan politik itu ada.
Pertama, pemerintah daerah harus melakukan zoning dan klasifikasi wajib pajak berdasarkan kemampuan ekonominya. Di banyak negara, pemilik rumah yang tinggal di properti utama mendapat keringanan pajak, berbeda dengan pemilik kedua atau ketiga yang memang untuk investasi.
Kedua, penyesuaian NJOP seharusnya dilakukan bertahap, bukan sekaligus melonjak tinggi. Kenaikan 10–15 persen per tahun mungkin masih bisa diterima warga, dibandingkan lonjakan 200–300 persen yang membuat kaget dan panik.
Ketiga, transparansi harus menjadi prinsip utama. Setiap kebijakan kenaikan PBB harus disertai simulasi dampak, dialog publik, dan akses keberatan yang sederhana. Pajak adalah kontrak sosial, sehingga kontrak itu akan runtuh jika salah satu pihak merasa dirugikan..
Keempat, pemerintah pusat sebaiknya memberikan pedoman yang lebih ketat tentang batas kenaikan NJOP, sehingga daerah tidak semata-mata menjadikannya sumber pemasukan instan. Prinsip keadilan sosial yang dijamin konstitusi tidak boleh dikalahkan oleh target pendapatan daerah.
Kita tentu ingin melihat pembangunan daerah yang maju, jalan yang mulus, sekolah yang layak, dan layanan publik yang baik. Tetapi, pembangunan yang dibiayai dengan memeras rakyat hanya akan melahirkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan. Seperti kata orator demonstarsi “pajak yang tidak adil adalah benih perlawanan”.
Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa PBB bukan sekadar angka di APBD, melainkan denyut nadi kehidupan masyarakat. Di balik setiap meter persegi tanah yang dikenai pajak, ada kisah keluarga, jerih payah puluhan tahun, dan harapan untuk masa depan. Jangan sampai kebijakan yang dibuat di meja rapat memutuskan tali kehidupan itu.
Mengembalikan Rasa Keadilan
Keadilan bukan berarti semua orang membayar jumlah yang sama, melainkan setiap orang membayar sesuai kemampuan. PBB yang adil akan mendorong partisipasi warga dan memperkuat legitimasi pemerintah. Sebaliknya, PBB yang memberatkan akan membuat rakyat merasa dijadikan sapi perah yang diperas tanpa pertimbangan matang.
Saat ini, suara rakyat sudah jelas, mereka menjerit. Tugas pemerintah adalah mendengar jeritan itu, bukan membungkamnya dengan angka-angka di atas kertas. Jika tidak, PBB akan menjadi pajak yang kehilangan legitimasi moralnya, dan rakyat hanya akan menganggapnya sebagai beban yang tidak lagi adil.
Sudah saatnya kita berhenti menghitung dan beretorika dengan angka-angka perpajakan. Mari memulai menghitung seberapa adil kebijakan pajak itu bagi rakyat banyak. Reformasi PBB bukan pilihan, tetapi kemauan politik memulihkan kembali kepercayaan publik.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News







Komentar