SULSELSATU.com, MAKASSAR – Mulai 2 Februari 2026, berbagai dokumen kepemilikan tanah tradisional seperti girik, petuk D, letter C, dan sejenisnya tidak lagi diakui sebagai bukti kepemilikan yang sah.
Pemerintah mengimbau masyarakat segera mengurus sertifikat hak milik (SHM) di Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar tanah tetap memiliki perlindungan hukum.
Ketua Forum Komunitas Hijau, Ahmad Yusran, menjelaskan bahwa perubahan ini berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, yang memberikan batas waktu hingga 2026 bagi pemilik tanah untuk melakukan sertifikasi.
Baca Juga : PLN UIP Sulawesi Terima 199 Sertifikat Aset Tanah di Peringatan Hantaru 2024
“Mengurus SHM tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga melindungi tanah dari potensi sengketa dan praktik mafia tanah,” ujar Yusran.
Dokumen-dokumen tersebut, kata Yusran, tidak akan diakui lagi sebagai bukti kepemilikan tanah mulai 2 Februari 2026.
“Oleh karena itu, tak heran di Tallo tepatnya di pesisir pantai Karabba terbit status hak milik di atas wilayah perairan. Karena oleh pemilik tanahnya yang masih menggunakan bukti kepemilikan tradisional sudah mengurus sertifikat hak milik (SHM) di BPN,” jelas Ahmad Yusran.
Baca Juga : Bantu Tingkatkan Ekonomi Masyarakat, Pemkab Gowa Terus Percepat Program Persertifikatan Tanah Warga
Ketua Forum Komunitas Hijau mengatakan dokumen seperti girik, petuk D, letter C, dan sejenisnya hanya bisa dijadikan sebagai petunjuk untuk mendaftarkan tanah ke dalam sistem administrasi pertanahan nasional.
Tujuannya untuk memperjelas kepemilikan tanah dan mencegah terjadinya sengketa atau klaim ganda atas suatu bidang tanah.
SHM diakui dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan memberikan hak penuh kepada pemiliknya untuk menguasai, menggunakan, serta memindahtangankan tanah tersebut.
Baca Juga : Gubernur Sulsel Sebut Gemapatas Jadi Solusi Sengketa Lahan
Berbeda dengan dokumen kepemilikan tradisional, SHM dapat menjadi perlindungan hukum yang kuat terhadap ancaman sengketa tanah dan praktik mafia tanah yang semakin marak terjadi.
Dengan memiliki SHM, pemilik tanah memiliki jaminan hukum atas asetnya serta dapat lebih mudah melakukan transaksi jual beli atau peralihan hak tanpa hambatan administratif.
Selain itu, sambung Yusran, pemerintah saat ini tengah mengembangkan sistem sertifikat tanah elektronik untuk meningkatkan keamanan dokumen kepemilikan dan mengurangi risiko pemalsuan sertifikat.
Baca Juga : Polisi Usut Kasus Mafia Tanah Malah Dipraperadilankan, BPN Komitmen Berantas
Dengan sistem ini, data kepemilikan tanah akan tersimpan secara digital, mempermudah proses administrasi serta meminimalisir risiko kehilangan atau pemalsuan sertifikat tanah.
Konsekuensi masyarakat jika tanah tidak segera didaftarkan dan dikonversi menjadi SHM sebelum 2026, pemilik tanah berisiko mengalami berbagai permasalahan, antara lain seperti kesulitan dalam pembuktian kepemilikan saat terjadi sengketa tanah.
Tidak memiliki hak hukum yang kuat dalam transaksi jual beli tanah, berpotensi terkena klaim oleh pihak lain, termasuk oleh mafia tanah. Disebut tanah berstatus ilegal, sehingga tidak dapat digunakan sebagai jaminan kredit atau investasi.
Baca Juga : Abaikan Permintaan Pengadilan, Pengacara: Aneh, BPN yang Terbitkan Sertifikat
“Olehnya itu masyarakat sangat penting untuk segera mengurus sertifikat tanah agar status kepemilikan diakui secara sah oleh negara dan mendapatkan perlindungan hukum yang optimal,” tutup Yusran.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar