SULSELSTAU.com, MAKASSAR – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus format pemilu serentak lima kotak yang selama ini menyatukan pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Mulai tahun 2029, pemilu nasional dan pemilu daerah akan digelar secara terpisah.
Keputusan yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini menuai respons positif dari kalangan akademisi. Salah satunya datang dari pengamat politik Universitas Hasanuddin, Prof. Sukri Tamma.
Dia menyebut langkah MK sebagai bentuk koreksi atas kompleksitas teknis dan politik dalam pelaksanaan pemilu serentak selama dua periode terakhir.
Baca Juga : Gerindra Minta Waktu Kaji Putusan MK Soal Pemilu Terpisah, Singgung Semangat UUD 1945
“Ini hasil evaluasi yang wajar. Kita sudah melihat betapa rumitnya penyelenggaraan pemilu serentak, bukan hanya dari sisi logistik, tapi juga dalam hal pengawasan dan konsolidasi politik,” ujar Sukri saat dihubungi Jumat (27/6/2025).
Sukri menjelaskan bahwa konsep penyatuan pemilu awalnya dinilai efisien secara teori, namun realitas di lapangan menunjukkan beban kerja yang luar biasa tinggi bagi penyelenggara, pemilih, maupun peserta pemilu.
“Penyelenggara kelelahan, pemilih kebingungan, dan tidak ada ruang cukup untuk membangun komunikasi politik yang sehat,” terangnya.
Baca Juga : Fahri Bachmid: Putusan MK Soal Pemilu Pisah, Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Jadi Opsi Konstitusional
Dengan model baru yang diputuskan MK, pemilu nasional akan meliputi pemilihan presiden, DPR RI, dan DPD RI. Sementara itu, pemilu daerah akan difokuskan pada pemilihan kepala daerah serta anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dengan jeda waktu antara dua hingga dua setengah tahun.
Menurut Sukri, pemisahan waktu ini memberi ruang yang lebih proporsional bagi konsolidasi demokrasi di tiap level pemerintahan. Ia menyebut bahwa selama ini jarak waktu yang sempit antara pemilu legislatif dan pilkada kerap menimbulkan pengaruh politik yang saling tumpang tindih.
“Misalnya, hasil pemilu nasional seringkali membayangi proses pilkada. Ada pengaruh yang tidak seimbang, dan itu mengganggu otonomi politik lokal,” jelasnya.
Baca Juga : DPR Buka Peluang Perpanjang Masa Jabatan DPRD Imbas Putusan MK
Ia menilai, langkah MK ini bukan hanya teknis, tetapi juga strategis untuk memperjelas orientasi politik masyarakat.
“Ini membantu membagi perhatian publik secara lebih terfokus. Pemilu nasional dan daerah memiliki logika politik yang berbeda dan tidak bisa dipaksakan untuk berjalan bersamaan,” tambah Sukri.
Meski mendukung keputusan tersebut, ia mengingatkan bahwa tantangan berikutnya adalah bagaimana memastikan pelaksanaannya berjalan efektif dan tidak memicu permasalahan baru.
Baca Juga : Putusan MK Ubah Desain Pemilu Serentak, Pilkada Mundur Paling Lambat 2,5 Tahun
“Tentu kita masih harus lihat bagaimana desain teknisnya nanti. Tapi sebagai keputusan konstitusional, ini mencerminkan bahwa sistem demokrasi kita bersedia belajar dari pengalaman,” tutupnya.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar