Logo Sulselsatu

Wacana Menghidupkan GBHN dan Realita Rezim Orde Baru

Asrul
Asrul

Rabu, 14 Agustus 2019 11:35

istimewa
istimewa

SULSELSATU.com, JAKARTA – Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) diwacanakan bakal kembali dihidupkan. GBHN diklaim bisa menjadi pedoman pembangunan nasional.

Anggota MPR dari Fraksi PAN Ali Taher menyatakan, GBHN diperlukan untuk mengontrol capaian dan anggaran sehingga pembangunan dapat benar-benar dirasakan rakyat.

Ali menyebut tanpa GBHN, proses pembangunan hanya akan bergantung janji kampanye atau visi misi presiden dan wakil presiden terpilih. 

Baca Juga : VIDEO: Pidato Terakhir Presiden Jokowi di Sidang Tahunan MPR Bikin Menteri Luhut Haru

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berpikiran serupa. Menurutnya, GBHN dibutuhkan agar rencana pembangunan tetap berkesinambungan.

“Jangan sampai terputus kesinambungan dan perencanaan jangka panjang, ya perlu GBHN,” kata Tjahjo dikutip dari CNNIndonesia.

GBHN bukan barang baru dalam proses ketatanegaraan Indonesia. GBHN pernah menjadi pedoman pembangunan semasa rezim Orde Baru

Baca Juga : VIDEO: Presiden Joko Widodo Meminta Maaf di Sidang Tahunan MPR

Pada saat itu, GBHN merupakan acuan utama presiden Soeharto, dalam mewujudkan cita-cita negara. GBHN yang memuat haluan penyelenggaraan negara ini dirancang dan disahkan MPR yang saat itu masih menjadi lembaga tertinggi negara.

Di dalamnya juga tercantum visi untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera dalam wadah NKRI.

Semua gambaran ideal soal GBHN versi politikus itu disebut ahli hukum tata negara Refly Harun tak lebih sebagai jebakan romantisme.

Baca Juga : Wakil Ketua MPR Lestari Mordijat Akan Berkunjung ke Kabupaten Luwu

Mereka yang setuju ditengarai menganggap GBHN dapat menjadi pedoman untuk pembangunan yang stabil dan berkelanjutan seperti masa Orde Baru

Refly menyebut pembangunan masa Orde Baru hanya pencapaian yang seolah-olah stabil dengan sistem keberlanjutan. 

Sustainability dulu terjaga karena presidennya enggak ganti-ganti. Kekuasaan pemerintahan otoriter,” ujar Refly 

Baca Juga : VIDEO: Jokowi Kenakan Pakaian Adat Suku Sabu NTT Saat Hadiri Sidang Tahunan MPR

Dia tak menampik perencanaan dan pencapaian pembangunan Orde Baru. Namun, pencapaian itu pun berujung kebangkrutan karena praktik korupsi merajalela.

Menghidupkan kembali GBHN juga disebutnya bermasalah secara ketatanegaraan. Indonesia setelah reformasi memiliki sistem ketatanegaraan yang sangat berbeda dengan Indonesia era Soeharto.

Di masa Orde Baru MPR berstatus lembaga tertinggi. Menghidupkan kembali GBHN berpotensi mengembalikan derajat MPR. Padahal, kata Refly, saat ini kekuasaan tertinggi berdasarkan konstitusi.

Baca Juga : Wacana Jabatan Presiden Tiga Periode, Jokowi: Tak Perlu Amandemen

“Jadi MPR bukan lagi kewenangan tertinggi, sistem kita check and balances. Bercabang-cabang di berbagai lembaga negara, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, semua sejajar,” ujar Refly.

Kekhawatiran MPR kembali jadi lembaga tertinggi memang cukup beralasan. Setidaknya hal itu sudah disuarakan oleh PDIP dalam rekomendasi Kongres V di Bali, pekan lalu.

Kongres V PDIP tersebut merekomendasikan agar MPR kembali diberikan kewenangan menetapkan GBHN.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut presiden harus tetap dipilih rakyat sebagai bentuk kedaulatan rakyat. Namun, kata Hasto, diperlukan garis besar yang ditetapkan MPR sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia.

Refly menambahkan penyusunan serupa haluan pembangunan nasional selama ini telah diakomodasi melalui Undang-undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Berbeda dengan GBHN yang disusun dan disahkan MPR, SPPN disusun oleh pemerintah dan pemerintah daerah. 

“Kalau memang butuh guidelines apa tidak bisa melalui UU Perencanaan Pembangunan? Kalau pun tidak masuk (ke UU itu) bisa saja dalam UU tentang garis besar bernegara,” katanya. 

Selain itu, lanjut Refly, harus dipikirkan kembali mekanisme penegakan hukum jika GBHN kembali dihidupkan. Belum lagi jika GBHN bertentangan dengan UUD 1945. 

Refly menuturkan selama ini Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga konstitusi tertinggi hanya berwenang menguji UU bukan UUD. 

“Bagaimana mekanisme hukumnya kalau ada pelanggaran. Siapa yang memberi sanksi karena sanksi bisa administrasi, politik, pidana. Kalau bertentangan dengan UUD juga, selama ini kan MK hanya menguji UU,” ucap dia.

Editor: Hendra Wijaya

Cek berita dan artikel yang lain di Google News

Yuk berbagi informasi tentang Sulawesi Selatan dengan join di group whatsapp : Citizen Journalism Sulsel

 Youtube Sulselsatu

 Komentar

 Terbaru

Makassar19 Desember 2025 23:19
Munafri Resmi Luncurkan Calendar of Event 2026, Makassar Siap Jadi Kota Event Sepanjang Tahun
SULSELSATU.com MAKASSAR – Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Pariwisata Kota Makassar resmi meluncurkan Calendar of Event (CoE) Makassar 202...
Video19 Desember 2025 20:22
VIDEO: Mendadak Jadi ‘Tambang’, Halaman Rumah Warga di Aceh Barat Diserbu Pendulang Emas
SULSELSATU.com – Sejumlah warga Desa Seuradeuk, Kecamatan Woyla Timur, Kabupaten Aceh Barat, mendadak gempar. Lantaran temuan butiran yang didug...
Makassar19 Desember 2025 20:06
Masyarakat Adat Desak DPRD Sulsel Usut Dugaan Penyimpangan GMTDC–Lippo
SULSELSATU.com, MAKASSAR – Komite Organisasi Masyarakat Adat, Budaya, Pusaka, dan Sejarah Sulawesi Selatan mengungkap dugaan penyimpangan serius...
Makassar19 Desember 2025 19:42
Akhir Tahun, UNM Sukses Sabet 4 Penghargaan di Ajang Anugerah Kemdiktisaintek 2025
SULSELSATU.com, MAKASSAR – Universitas Negeri Makassar (UNM) menutup tahun dengan kembali memberikan kabar gembira. Pada puncak Anugerah Diktisa...